Today is the first time I was deeply strucked by a painting, to the level that I wanted to own it. It was surreal. I can hardly explained the immediate and visceral experience I had. It was a painting titled Step of Journey by Tanto Sutianto. I came across it…

Apakah sesuatu harus berlebihan untuk ada? Tak bisakah senang yang biasa saja, kagum secukupnya, sedih sejujurnya, marah serapuhnya, emosi seperlunya, sewajarnya. Seolah-olah bila tidak dramatis, tidak mentok drama, kehadiran seseorang, kebutuhan seseorang untuk diakui, untuk diterima, menjadi tidak penting. Apakah yang membuat seseorang begitu tinggi, begitu lama, hingga ia lupa turun, lupa caranya, lupa rasanya? Apakah menjadi bukan sakit namanya bila tidak dramatis, tidak puitis? Sakit dengan luka-luka halus, perih-perih lembut, pilu yang diam-diam bersemayam di hati, sungkan untuk dibagi, karena sesuatu yang tanggung begitu, tak cukup komersil untuk jadi komoditi. Seolah-olah empati adalah mata uang, yang wajar dikeluarkan, untuk membeli hiburan. Entah karena apa. Mungkin komparasi: ada yang lebih sengsara. Mungkin pula: sesuatu yang aku tidak tahu persis. Aku merasa sebal saja. Kapan ya terakhir kali aku merasa, hidup itu, biasa saja?

I rather being mean to people than myself. That sounds rude or self-centered, but I love myself that much. Of course, I don’t want to be labelled as a mean person. But. If I got one, perceived as one, for saving my own sanity and happiness, I don’t mind. …

Seekor lalat hinggap di antara bulu-bulu kakiku yang lebat. Pagi ini aku tidak berselera untuk menepuknya. Kubiarkan saja ia menjilat-jilat. Aku diam-diam berharap lalat hinggap lama-lama. Sebetulnya aku tidak suka yang diam-diam begini, sepi, tapi ya lalat tak akan mengerti ucapanku juga. Kulihat jam di layar hapeku, cih, masih jam…

Baru hari ini aku bisa mengakui, bahwa aku bukan malas. Malas terlalu sederhana, solusinya saja yang rumit. Aku takut, takut itu rumit, tapi solusinya sederhana. Aku tidak pernah dan tidak mungkin malas jika aku berani untuk melakukan apa yang perlu dilakukan. Takut, itu baik bila bijaksana. Namun aku tidak. Aku nyaman bersembunyi, menyelimuti diriku dengan cemas dan asumsi-asumsi yang bercabang dan bercarut-marut. Agar tidak takut, aku bisa saja untuk cuek. Tidak perlu berani, cukup terbuka pada kemungkinan, untuk mengolah asumsi-asumsi sebagai hipotesis, yang perlu diuji, yang jika tidak terbukti, begitulah hasilnya, menjadi hipotesis lagi, dan diuji lagi, dan seterusnya. Aku pikir, aku hanya takut merasa bodoh karena salah, dan itu tidak bijaksana.

Lipatan pikiranku kini terurai. Himpitan perasaanku kini terburai. Aku bercerai.

A story idea for a feature film about the establishment of the new capital city of Indonesia — This story is created by Ryandi Pratama in Jakarta on December, 24th 2022. The story is heavily inspired by my own upbringing as a mixed-race from the third generation of immigrant in West Kalimantan and my on-going journey to learn about my family history. The title “Capital Arrangement” I chose…

Mother Bird had always been a strong and capable figure in The Kingdom. She was respected by all the birds and bards for her wisdom and her kind heart. However, behind her strong facade, Mother Bird had always struggled with a deep sense of trauma from her past. As a…

Bishop Bower was a beautiful and talented bird, with a voice as sweet as honey and feathers as bright as the sun. But despite her many gifts, she was plagued by a deep sense of regret. It all started many years ago, when Bishop Bower was just a young hatchling…