Lalat, Bulu Kaki, Bapak Cicak, Kura-kura, dan Seorang Gadis Cantik.

Ryandi Pratama
3 min readJan 24, 2023

Seekor lalat hinggap di antara bulu-bulu kakiku yang lebat. Pagi ini aku tidak berselera untuk menepuknya. Kubiarkan saja ia menjilat-jilat. Aku diam-diam berharap lalat hinggap lama-lama. Sebetulnya aku tidak suka yang diam-diam begini, sepi, tapi ya lalat tak akan mengerti ucapanku juga.

Kulihat jam di layar hapeku, cih, masih jam sembilan. Aku tak sabar menunggu jam delapan malam. Seorang wanita mengajakku kencan di sebuah hotel baru. Tumben. Aku diajak duluan, dan di sebuah hotel baru. Biasanya kencan pertama selelu aku yang mulai dulu. Dan opening adalah pilihan yang aneh untuk kencan, menurutku. Lalat tak perlu peduli soal itu. Enak sekali.

Merasa aku bicarakan, lalat sepertinya tahu, dan memutuskan untuk pergi. Meninggalkan bulu-bulu kakiku kesepian lagi. Brengsek. Kalau aku tidak perlu cari duit, akan aku teruskan saja melamunkan lalat dan bulu kaki.

Siang ini di kantor, aku bertemu bapak cicak. Aku yakin ia bapak-bapak karena langkahnya berat, kurang motivasi, kurang perhatian, wajahnya murung, dan suaranya terbatuk-batuk berat. Seperti bapak tetangga kosanku, lima-puluhan, ngekos sendirian, anak istrinya di Bekasi. Auranya negatif seperti cicak itu. Aku ingin jadi cicak daripada jadi bapak-bapak seperti bapak tetangga kosan. Cicak tidak bisa baca, tidak perlu bisa baca, tidak perlu buka excel ngitung duit yang belum ada wujudnya. Bapak-bapak bisa baca, perlu baca, kerja, pusing cari duit, melawan sepi, demi anak istri, walau tak bergairah. Kalau aku tidak punya urusan lain, aku ingin melamunkan cicak dan bapak tetangga kosanku itu. Merasa aku gosipkan, cicak itu malu, lalu sembunyi ke balik pintu. Si bapak-bapak mungkin bersin, aku tidak tahu, nanti aku tanya kalau inget.

Malam akhirnya kejadian. Masih bisa hilang ternyata matahari. Dengan malas-malas dan sedikit penasaran aku memutuskan untuk menemui ajakan berkencan di hotel baru itu.

Sesampainya di hotel aku bertemu kura-kura. Kura-kuranya diam saja. Karena dia sudah jadi kalung. Dia cuma kalung, dan si pemiliknya cantik, lehernya cantik, wajahnya cantik, rambutnya cantik, bulu matanya lentik, wanita gulali, manis sekali ingin kujilati. Walau tidak sopan kalau terang-terangan.

Aku tanya aja dia, apakah boleh aku jilati pipinya. Dia bingung dan tertawa kecil, dikiranya aku bercanda. Ya aku ikut tertawa saja, aku tidak mau menyinggung kura-kura. Salah apa dia. Aku lalu bertanya, “Itu kura-kura apa?”. Dia lalu memegang kura-kura, kura-kura masih diam saja. Si gadis yang berbicara, katanya ia tidak tahu itu kura-kura apa. Kura-kura cemberut, namun pura-pura biasa saja.

Aku bilang itu namanya kura-kura biasa. Lalu si gadis geams dan bilang kalau ia juga tahu kalau itu. Lalu kubalas saja, “lalu kenapa ga dijawab?” dia jawab, “bingung” katanya. Lalu kubalas lagi, “tapi kamu ga perlu bingung lagi sekarang kura-kura biasa memang biasanya begitu, biasa saja, kamu yang membuatnya luar biasa. Kalau kalung itu aku lilit ke bulu-bulu kakiku, aku pikir ia akan jadi biasa saja. Beda kalau di lehermu yang cantik, ga ada bulunya.”

Si gadis resepsionis bingung. Aku tidak. Aku ingin membuat ia bingung memang. Sebelum ia berhenti bingung aku bertanya, “bisakah aku bertemu dengan Ibu Nurul?” Dia tersentak lalu dengan sigap kembali bertanya, “Maaf, dengan Mas siapa namanya? Sudah bikin janji?”

“Aku kura-kura. Ibu Nurul lehernya,” jawabku.

Aku tinggalkan kartu namanku di meja resepsionis, menatap mata gadis itu dengan hangat, tersenyum, lalu berbalik badan meninggalkannya. Toh aku tahu Ibu Nurul ada dimana. Aku hanya tak ingin menjadi cicak yang membosankan atau lalat yang tak pernah perlu peduli.

--

--

Ryandi Pratama

I write to explore my thoughts and dreams. Sometimes it is a fantasy story, poetry, movie idea, lyric, or a rant. Well, definitely a rant.